Jakarta, Desember 2012
D : “Hai, kamu orang Toraja ya? Salam kenal”
Seorang pria yang aku tak tau datang darimana me-mention-ku di Twitter. Sama dengan banyak pria yang iseng-iseng mengucapkan salam kenal dan setelah itu benar-benar minta kenalan.
Aku :” Iya. Ini siapa ya?”
D : Sebuah direct message masuk ke akun Twitterku. Aku Dani. “Aku lancang ga, kalo minta nomor hpmu?”
Ini orang siapa ya? Kubuka bio-nya dan tertulis bahwa dia seorang dokter, orang Toraja, 27 tahun. Dan tak perlu waktu lama bagiku untuk tau darimana dia mendapat akunku. Sebuah akun cari jodoh komunitas orang Toraja. Admin akun ini menfollowku tapi tak kufollow. Dan aku tak pernah ikut mempromosikan diri. “Mau ditaro di mana muka gue? Gengsi dong nanti dibilang ga laku sampe harus ikut gini-ginian.” Pernah kubuka linimasa ‘birojodoh’ itu. Seorang pria akan memention admin dan mempromosikan dirinya agar orang lain termasuk perempuan-perempuan akan tahu tentang dirinya atau sekadar mengecek bio akunnya.
@Co_TekNikGaul : “Min, sy Riko mahasiswa teknik, 27, cari cewek manis & perhatian. RT nah.”
Lalu admin akan mengtwit : “Riko, 27, Mahasiswa Teknik, mencari cewek manis & perhatian @Co_TekNikGaul”
Beberapa orang menggunakan akun ini untuk lucu-lucuan, sekadar menyapa, atau mencari kenalan. Tapi tidak bagiku.
D : “Hei. Masih ada orang kah? ”
Pria bernama Dani ini boleh juga. Dokter. Ibarat CV yang layangkan ke perusahaan, orang tua pasti menyukainya. Walau bukan berarti hanya profesi dokter yang dipandang. Semua profesi terpandang, menurutku.
Aku : “ada sih, cuma gimana yah, aku lagi malas ngobrol dengan orang yang ga aku kenal. Lagian kamu kurang kerjaan banget, pasti kamu dapat akun Twitter ku dari akun cari jodoh itu kan?”
D : “Ia, sorry, soalnya aku benar-benar lagi cari jodoh dan tidak banyak cewek Toraja yang kukenal.” Dani orang yang ramah dan sopan. Mengobrol singkat dengannya membuatku merasa terhormat. Ia sederhana. Dan menyenangkan.
Sejak basa-basi itu, komunikasi kami berlanjut. Saling menyapa setelah bangun pagi dan setiap malam sebelum tidur. Seperti jadwal minum susu anak kecil. Jika ia tak sedang sibuk praktik di klinik, ia pasti akan mengirim pesan padaku dan bertanya beberapa pertanyaan. Aku tak pernah berharap bisa menghubunginya, karena akan sia-sia. Setiap komunikasi kami hanya dia yang bisa mulai. Ia harus ke ujung desa dulu untuk dapat sinyal. Kadang jika beruntung, dia bisa menghubungiku tanpa keluar dari rumah dinasnya di Nunukan, tempat yang belum pernah kudatangi. Ia bisa tiba-tiba menghilang saat sore hingga malam, dan mengirim pesan saat dini hari “tadi pintu rumahku diketuk tiba-tiba, ada pasien kritis. Ini baru selesai, jadi aku hubungin kamu. Kamu belum tidur?”, “jangan marah yah”, “sebentar aku telepon yah, kamu istirahat aja dulu.” . Dani mengabdi di Nunukan, Kalimantan, setelah pulang dari Sudan. Setelah itu, ia hanya bolak-balik Jakarta-Nunukan-Singapore untuk bertemu keluarganya.
Setiap pukul delapan hingga sembilan malam, Dani biasa ke ujung desa untuk berbalas pesan denganku. Tepat pukul itu, aku masih di jalan pulang kantor menuju kontrakan. Menumpangi bus Transjakarta sepanjang Slipi Petamburan hingga Rawabuaya. Dia menjadikanku orang aneh yang kerjanya hanya tersenyum manis seperti putri yang harus naik bus, sepanjang perjalanan. Dan pukul delapan hingga pukul sembilan itu menjadi waktu favoritku. Pernah dia memintaku untuk berhenti bekerja. Jika nanti kami sudah bersama. Ia tak mau nanti punya istri yang berada di luar rumah hingga begitu malam untuk bekerja. Aku mengiyakan. Katanya, nanti aku harus terbiasa jalan-jalan dengan ibunya. Dan juga bersama Via. Mantan kekasih yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Itu juga aku iyakan.
Hari ini aku menunggu kabar dari Dani. Ia bilang akan mencari cara bagaimana agar kami bisa bertemu. Ia akan terbang dari Nunukan ke Jakarta untuk bertemu dengan dosennya, sebelum berangkat ke Singapore lagi. Aku menunggu sambil berdebar-debar.
Pertemuan pertama.
Dan sepertinya akan bertemu dengan ibunya.
Apa Dani akan tetap menyukaiku? Atau Via masih lebih cantik daripada aku?
Atau dia akan secepatnya melamarku?
Apa dia akan memintaku tinggal bersamanya di Nunukan hingga masa tugasnya selesai?
Hari itu berlalu. Esoknya juga. Lalu esoknya juga. Lalu begitu. Hingga satu minggu berlalu. Tahun pun berlalu dan Dani tak pernah muncul. Satu tahun ia tak menjawab teleponku. Satu tahun ia tak menghubungiku. Satu tahun kami tidak bertatap muka dari kamera komputer. Satu tahun kami tak saling memention Twitter. Satu tahun lalu air mataku mengering, bingung dan tak ada penjelasan, kenapa dia meninggalkanku.
Makassar, Agustus 2013
Kota mulai basah. Kejatuhan air-air dari langit yang terbawa udara. Tak ada tanda-tanda akan hujan sebelumnya. Bunyi ponsel mencuri perhatian saat layar komputer sedang bertatapan denganku. Nomor Jakarta. Suaraku dalam hati. Mungkin panggilan kerja lagi, padahal aku masih di Makassar.
“Haloo.”
“Lisa Isadora?”
“Iya, ini siapa ya?”
“Hmm. Dengan Lisa Isadora?”
“Iya. Saya sendiri.”
“Ini Via, temannya Dani.”
“Oh, e… Seorang perempuan yang tentu saja bukan dari perusahaan di Jakarta membuatku sedikit gagap, aku harus berekspresi apa. Iya, kenapa ya?”
Ini kali keduanya aku bicara dengan Via, perempuan yang sempat kucemburui dan Dani mengingatkanku jika aku tak perlu melakukannya. Lalu kubilang pada Dani, tentu saja aku cemburu mengingat sebelum dekat denganku, ia adalah kekasihmu bertahun-tahun. Dani hanya tertawa sederhana dan dewasa. Sama dengan perawakannya yang bijaksana.
“Kamu udah tau belum kalo Dani udah meninggal?”
“Apa? Dani? Dani meninggal?”
“Iya, kecelakaan.”
Udara berhenti beberapa sentimeter tak menyentuh tubuhku. Masa sedang terhenti. Waktu sedang berhenti.
“Kapan? Aku ga tau.”
“Satu tahun lalu. Di Singapore, waktu dia lagi ngurus wisudanya.”
……..
“Sempat 2 minggu dirawat di rumah sakit. Aku kira ada yang ngasih tau kamu.”
“Aku ga pernah dapat kabar dari dia, sejak tahun lalu. Dia hilang dan aku ga bisa hubungin dia. Dani meninggal tahun lalu dan aku baru dikasih tau?”
“Maaf, aku kira kamu sudah tau. Dan sebelumnya Dani pernah kasih tau supaya aku jaga jarak dengan kalian, sejak kalian dekat. Aku juga baru tau nomor kamu kemarin. Kalau aku tau dari duu aku dari dulu sudah ngabarin kamu.”
……… Aku hanya diam dalam kacauku. Hanya itu yang aku mampu.
“Dani sempat cerita tentang kamu, dia antusias sekali bercerita. Dia bilang kamu enerjik, sopan, dan manis.”
Waktu berhenti begitu lama sedangkan kenangan bermain seenaknya. Pertanyaan tahun laluku terjawab. Mengapa Dani tiba-tiba menghilang. Aku tak percaya dan apakah aku harus belajar percaya serta menerimanya?
Dulu Twitter yang mempertemukan kami. Dan sekarang, hanya doa yang bisa melakukannya.
– jauh, di dasar hatiku, tetap kumau, kau sebagai kasihku… –
Makassar, 29 Agustus 2013. Untuk Dani yang sudah damai di sana.